Blog ini dibuat untk memenuhi perkuliahan di Ilmu Hukum, Fakultas Sharia dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Senin, 18 Juni 2012

AL-MAKSU, AL-IKHTILÂS DAN AL-IHTIHÂB. DALAM HUKUM PIDANA ISLAM


AL-MAKSU, AL-IKHTILÂS DAN AL-IHTIHÂB
DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

Dr. H. M. Nurul Irfan, S. Ag, M.Ag

PENDAHULUAN
            Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Tidak Pidana Korupsi merupakan sebuah jarimah atau tindak pidana yang cukup unik, sebab korupsi  tidak termasuk dalam wilayah jarimah qishas dan tidak pula masuk dalam cakupan jarimah hudud. Kedua macam jarimah ini secara jelas telah disebutkan dalam berbagai teks keagamaan baik Alquran maupun hadis, bahkan jenis dan jumlah  sanksinya juga telah dijelaskan oleh sumber utama ajaran agama Islam tersebut. Berbeda dengan tindak Pidana Korupsi yang memang tidak secara tegas dinyatakan dalam Alquran dan hadis. Hal ini bisa terjadi karena praktik-praktik korupsi, atau beberapa kejahatan  yang mirip dengan korupsi belum banyak terjadi pada saat Nabi Muhammad SAW. masih hidup. Kalaupun  pada saat itu pernah terjadi beberapa kasus penggelapan atas harta milik negara, maka segera bisa ditangani dan diselesaikan oleh beliau, sehingga tidak sampai dikriminalisasikan.
            Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini masuk dalam kategori  jarimah takzir. Tindak pidana korupsi tidak bisa dianalogikan  dengan jarimah sariqah atau tindak pidana pencurian dan jarimah hirâbah atau tindak pidana perampokan. Tindak pidana pencurian  dan perampokan masuk dalam wilayah jarimah hudud yang sanksinya  telah disebutkan di dalam Alquran. Walaupun tindak pidana korupsi hanya masuk ke dalam jenis jarimah takzir, namun karena bahaya dan pengaruh negatifnya  bisa lebih besar daripada  sekedar mencuri dan merampok, maka bentuk hukuman  takzirnya dapat berupa pemecatan, hukuman kurungan,  penjara  seumur hidup bahkan bisa berupa hukuman mati.
            Dalam hukum Pidana Islam, pada dasarnya  tidak ada istilah yang pas dan sesuai dengan terminologi korupsi di Indonesa. Dalam buku Korupsi menurut Hukum Pidana Islam, penulisnya menyebutkan korupsi dengan istilah ghulul. Sedangkan dalam Fikih Korupsi oleh majelis Tarjih Muhammadiah korupsi disebut denga istilah ikhtilâs   . Ada juga yang menganggap sama atara korupsi dengan sariqah atau pencurian bahkan  ada juga yang menyatakan bahwa hakekat bahaya korupsi lebih besar daripada sekedar merampok atau hirâbah. Ada juga yang mengatakan bahwa korupsi adalah sebuah bentuk penghkhianatan, sehingga ia disebut dengan khianat, namun berbeda dengan istilah khianat yang telah resmi menjadi bahasa Indonesia, ketiga istilah dalam makalah ini adalah  al-maksu, al-ikhtilâs dan al-ihtihâb belum masuk dan belum menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu secara berurutan ketiga istilah sebagai bentuk lain dari  terminologi korupsi di atas akan diuraikan pengertian masing-masing, dalil-dalil keharamannya dan sanksi hukum bagi pelakunya.




PEMBAHASAN

a.    Pengertian al- Maksu dan dalil-dalil keharamannya
              Secara etimologis kata "المكس" adalah bentuk masdar atau infinitive dari kata kerja "مكس - يمكس" yang artinya memungut cukai, menurunkan harga dan menzalimi.[1] Ibnu Manzur juga mengartikan kata "المكس" dengan "الجباية" cukai bahkan secara lebih detail dia mengemukakan :
المكس : دراهم كانت تؤخذ من بائع السلع فى الأسواق فى الجاهلية[2]
(Al-Maksu adalah sejumlah uang (dirham) yang diambil dari para pedagang di pasar-pasar pada zaman jahiliyah).
Al-A'rabi seperti dikutip oleh Ibnu Manzur mengartikan kata "المكس" dengan "درهم كان يأخذه المصدق بعد فراغه" uang yang diambil kembali oleh seseorang yang bersedekah setelah dia laksanakan sedekah itu. Di dalam hadis, demikian Ibnu Manzur menjelaskan disebutkan bahwa pelaku pungli tidak mungkin masuk surga, kata "المكس" dalam hadis ini artinya "الضر يـبة التى يأخذها الماكس وأصله الجباية" pungutan liar yang diambil oleh pelaku pada mulanya, pengutan liar ini adalah cukai.[3]
              Senada dengan Ibnu Manzur, Ahmad Siharanfuri dalam Bazl al-Majhûd juga mengutip definisi di atas. Bahkan dia mengutip definisi al-maksu sebagai yang disebut dalam kitab an-Nihayah sebagai berikut :
المكس الضر يية التى يأخذها الماكس وهو العشار لأن الغالب فيه الظلم فالأمير يستحق النار بأمره بذلك والعشار يستحق النار بإعانته فى ذلك[4]
(Al-maksu adalah cukai yang diambil pelaku yaitu sebesar 1/10 (dari harta seluruhnya) dalam hal ini umumnya terdapat unsur kezaliman. Seseorang penguasa akan masuk neraka karena kebijakannya mengarah kepada kezaliman tersebut dan para pemungut 1/10 (dari seluruh harta pedagang) akan masuk neraka karena membantu penguasa dalam melaksanakan pemungutan dimaksud).

              Lebih lanjut Ahmad Siharanfuri mengutip uraian pengarang kitab al-Hasyiyah yang mendefiniskan al-maksu dengan mengambil bentuk isim fa'ilnya yaitu :
الماكس من العمال من ينقص من حقوق المساكين لايعطيها كاملا بتمامها وأما من يأخذ الصدقة
 والعشر بحق ففيه أجر وهو شاب[5]
(Pengawai-pegawai pemungut cukai adalah orang yang mengurangi hak-hak orang-orang miskin tidak diberikannya secara sempurna (dikorup). Adapun petugas pemungut zakat dan pungutan sebanyak 1/10 dengan cara benar atau secara sah / resmi dia justru akan mendapatkan pahala (dengan manjalankan tugas ini), tugas ini dilakukan oleh anak-anak remaja).
              Sementara itu Muhammad bin Salim bin Sa'id Babasil mendefinisikan al-maksu sebagai berikut :
المكس وهو ماترتبه الظلمة من السلاطين فى أموال الناس بقوانين ابتدعوها[6]
(Al-Maksu adalah suatu aturan yang ditentukan oleh penguasa-penguasa secara zalim, berkaitan dengan harta-harta manusia, (aturan ini) diatur dengan undang-undang yang sengaja dibuat / diada-adakan).
              Dengan definisi al-maksu seperti ini menunjukkan adanya arogansi seseorang atau sistem dalam sebuah rezim yang kuat, sehingga bisa melegalisasi suatu aturan yang pada satu sisi menguntungkan pihak penguasa, tetapi di sisi lain merugikan pihak-pihak yang diatur. Dalam hal ini para pedagang dan pelaku bisnis. Babasil lebih lanjut menjelaskan bahwa para pihak yang biasanya terlibat dalam melaksanakan jarimah al-maksu ini meliputi beberapa kelompok. Dalam hal ini ia berkata :
والمكاس بسائر أنواعه من جابى المكس وشاهده ووازنه وكائله وغيرها من أكبر أنواع الظلمة بل هو منهم فلهم يأخذون مالا يستحقون ويدفعونه لغير مستحقة[7]
(Para pelaku pungli dengan berbagai macamnya terdiri dari pihak pemungut, pencatat, pihak yang menyaksikan, pihak yang menimbang, pihak yang menakar dan lain-lain yang terlibat dalam kezaliman besar ini, bahkan masing-masing pihak dianggap sama saja sebab mereka telah mengambil sesuatu yang bukan hak mereka dan menolak sesuatu yang bukan / tidak termasuk haknya).
              Definisi al-maksu terakhir dijelaskan oleh Syamsul Haq Azim dalam 'Aun al-Ma'bud. Dengan  mengutip definisi pengarang kitab Syarh as-Sunnah ia berkata :
أراد بصاحب المكس : الذى يأخذ من التجار إذامروا مكسا باسم العشر, فأماالساعى الذى يأخذ الصدقة ومن يأخذ من أهل الذمة العشر الذى صولحوا عليه فهو محتسب مالم يتعدى فيأثم بالتعدى والظلم[8] 
(Maksud dari sâhib al-maks adalah seseorang yang mengambil pungutan-pungutan dari para pedagang yang lalu lalang dengan nama pungutan 1/10. Adapun orang yang mengambil zakat atau mengambil (jizyah) dari ahl az-zimmah sejumlah 1/10 yang mana mereka telah tunduk dan sepakat dengan kewajiban jizyah ini, maka orang itu justru dinilai (sebagai petugas resmi) selama tidak melampaui batas, sebab kalau melampaui batas dan bersikap zalim maka tetap dianggap berdosa).
              Pada bagian akhir definisi al-maksu yang dikemukakan oleh Syamsul Haq Azim ini dijelaskan mengenai petugas pemungut zakat atau jizyah di mana keduanya jelas tidak termasuk dalam cakupan pungli yang pelakunya diancam pasti masuk neraka. Hal senada juga dikemukakan oleh Ahmad Siharanfuri yang juga mensyarahi atau menjabarkan makna kitab Sunan Abi Dawud. Istilah sâhib al-maksi atau sâhibu maksin juga dijelaskan oleh Imam an-Nawawi ketika mengemukakan hadis tentang tobatnya seorang wanita pelaku zina sebagaimana penulis bahas pada bab dua mengenai wanita al-Ghamidiah yang berzina.[9] Penjelasan Imam an-Nawawi dimaksud adalah sebagai berikut :
قوله صلى الله عليه وسلم لقد تبت توبة لوتابها صاحب مكس لغفرله فيه أن المكس من أقبح المعاصى والذنوب الموبقات وذلك لكثرة مطالبات الناس له وظلاماتهم عنده وتكرر ذلك منه وانتهاكه للناس وأخذ أموالهم بغير حقها وصرفها فى غير وجهها[10]
(Sungguh wanita al-Ghamidiah itu telah bertobat, jika tobat itu dilakukan oleh para pemungut cukai illegal pasti tetap akan mendapat ampunan. Dalam cakupan hadis ini terdapat sebuah ketentuan bahwa cukai illegal atau pungutan liar termasuk jenis dosa dan kemaksiatan yang paling jelek, sebab dalam mekanismenya banyak merugikan dan menzalimi pihak-pihak lain, bahkan kezaliman ini terjadi secara terus-menerus dengan cara memperkosa hak orang lain, merampas harta benda secara sewenang-wenang bukan dengan jalan yang benar, bahkan juga membelanjakan (harta hasil punglinya) pada jalan yang tidak semestinya).
              Dari uraian tentang pengertian al-maksu di atas, bisa penulis simpulkan bahwa tradisi pungutan liar atau cukai illegal sudah dikenal sejak masa permulaan lahirnya Islam, bahkan sejak zaman jahiliah sudah sering terjadi kasus-kasus pemerasan oleh kelompok-kelompok tertentu kepada para pedagang di pasar-pasar.[11] Biasanya jumlah nominal yang ditetapkan sebesar 1/10 dari harta yang mereka bawa pada hari itu, sebab hal ini terjadi secara terus-menerus, bahkan terkadang melibatkan aparat setempat dengan membuat-buat aturan yang mengada-ada agar terkesan resmi, padahal unsur kezaliman bakan tendensi pemerasannya tetap dominan.
              Adapun nas-nas syar'iyyah atau dalil-dalil syara' tentang diharamkannya praktik pengutan liar, cukai illegal atau al-maksu ini antara lain adalah firman Allah :
$yJ¯RÎ) ã@ŠÎ6¡¡9$# n?tã tûïÏ%©!$# tbqßJÎ=ôàtƒ }¨$¨Z9$# tbqäóö7tƒur Îû ÇÚöF{$# ÎŽötóÎ/ Èd,ysø9$# 4 šÍ´¯»s9'ré& óOßgs9 ë>#xtã ÒOŠÏ9r&  {الشورى /42 : 42 }
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS. As-Syuura /42 : 42)

              Menurut penulis, pesan moral ayat 42 surat as-Syura di atas adalah bahwa perbuatan zalim yang merugikan orang lain akan berakibat pelakunya memperoleh ancaman siksa yang pedih di neraka, sebab tindakan kezaliman itu akan sangat berpengaruh pada diri pelaku baik di dunia, lebih-lebih di akhirat. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa pelaku kezaliman akan rugi, karena kebaikan-kebaikan selama hidup bisa jadi akan dipindahkan kepada pihak yang teraniaya. Hadis dimaksud dikutip oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Salihin sebagai berikut :
عن أبي هريرة:  أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ( من كانت عنده مظلمة لأخيه فليتحلله منها فإنه ليس ثم دينار ولا درهم من قبل أن يؤخذ لأخيه من حسناته فإن لم يكن له حسنات أخذ من سيئات أخيه فطرحت عليه ) {رواه البخارى}[12]
(Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda, barang siapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya dan merugikan harga dirinya atau hal-hal lainnya, maka hendaknya segera minta dihalalkan (diselesaikan) saat ini, sebelum datang sebuah masa yang mana dinar dan dirham tidak berharga (laku) lagi. Sebab (kelak di akhirat) jika pihak yang berbuat zalim itu mempunyai amal-amal salih akan diambil (dipotong) sesuai dengan seberapa banyak kezaliman yang pernah dilakukannya terhadap saudaranya. Tetapi jika ternyata pihak yang berbuat zalim tidak memiliki kebaikan maka dosa-dosa saudaranya (yang dizalimi) itu akan dibebankan kepada pihak yang berbuat zalim (HR. al-Bukhari).

              Dalam hadis lain dinyatakan bahwa pelaku cukai illegal atau pungutan liar tidak akan masuk surga. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut :
عن عقبة بن عامر قال:  سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال " لايدخل الجنة صاحب مكس { رواه أبوداود}[13]
(Dari 'Uqbah bin Amir, berkata, Rasulullah SAW bersabda : "orang yang melakukan pungutan liar tidak akan masuk surga. (HR. Abu Dawud).
              Dengan redaksi yang berbeda, Imam Ahmad meriwayatkan hadis tentang konsekwensi pelaku pungli ini sebagai berikut :
عن يزدبن أبى حبيب عن أبى الخير قال عرض مسلمة بن مخلد وكان أميرا على مصر على رويفع بن ثابت أن يوليه العشور فقال إنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول أن صاحب المكس فى النار[14]
(Dari Yazid bin Abi Habib dari Abul Khair berkata, Maslamah bin Makhlad, gubernur Mesir mengangkat Ruwaifi' bin Sabit untuk menjadi petugas pemungut cukai (yang ukurannya 1/10). Maka pada saat itu Ruwaifi' berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa pelaku pungutan liar ada dalam neraka). (HR. Ahmad).

              Kedua hadis riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad yang menyebut bahwa pelaku pungli tidak akan masuk surga dan pasti akan ada dalam neraka, dikomentari oleh Babasil dengan pernyataannya sebagai berikut :
لأنه نبت من حرام ولتقلده بمظالم العباد ومن أين له يوم القيامة أن يؤدي ماأخذ من الناس فيأخذوه من حسـناته إن كانت[15]
(Karena pemungut cukai illegal tumbuh (dagingnya) dari barang haram dan karena tindakannya berupa menzalimi pihak lain, bagaimana mungkin di hari kiamat ia bisa (menikmati hasil) yang dirampasnya dari orang-orang (yang dizalimi)?, di sini justru merekalah yang akan mengambil amal-amal baik pelaku, itupun kalau ia memiliki amal saleh).

              Pada bagian akhir pernyataan Babasil disebutkan bahwa akibat kezalimannya, dia akan dituntut oleh pihak yang terzalimi kalau ia mempunyai amal saleh, pahalanya akan diambil dan diberikan kepada pihak yang terzalimi, tetapi kalau tidak ada amal saleh justru dosa-dosa pihak yang terzalimi akan dipindahkan kepada pihak yang menzalimi. Inilah makna hadis al-Bukhari yang dikutip Imam an-Nawawi dalam Riyadus Salihin min Kalami Sayyid al-Mursalin di atas.
              Di samping dua hadis di atas masih terdapat sebuah hadis riwayat Ibnu Majjah bab al-Ma'âzir yang pada akhirnya menyebut kata "صاحب مكس" yaitu :
عن جوذان قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من اعتذر إلى أخيه بمعذرة فلم يقبلها كان عليه مثل خطيئة صاحب مكس {رواه إبن ماجه}[16]
(Dari Jauzan berkata, Rasulullah SAW bersabda, barang siapa mengemukakan suatu alasan kepada saudaranya tetapi saudaranya tersebut tidak menerimanya maka ia berdosa seperti dosanya pelaku pungutan liar. (HR. Ibnu Majjah).

              Hadis ini mirip sekali dengan sabda Rasulullah SAW riwayat Imam Muslim, pada saat menegur Khalid bin Walid ketika terkena percikan darah segar yang mengalir dari wajah wanita al-Ghamidiah, pelaku zina muhsan yang dihukum rajam. Pada saat itu beliau bersabda :
 ... مهلا يا خالد فوالذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ... {رواه مسلم}[17]
(… pelan-pelan wahai Khalid, demi Allah yang jiwaku ada dalam genggamanNya wanita ini telah bertobat yang jika tobat itu dilakukan oleh pelaku pungutan liar, pasti diampuni…) (HR. Muslim)

              Letak kemiripan kedua hadis ini adalah bahwa persoalan pelaku pungutan liar menurut keduanya hanya sebagai anak kalimat dan sekedar sebagai perbandingan, sebab pada hadis Ibnu Majjah pokok masalahnya adalah tentang dosa seseorang yang tidak bisa menerima alasan pihak lain dan pada hadis Muslim, inti persoalannya adalah mengenai tobatnya seorang wanita al-Ghamidiah pelaku zina muhsan. Keduanya tidak sedang membahas persoalan al-maksu. Namun demikian dari keduanya bisa diketahjui bahwa pelaku pungli jelas berdosa besar sebagaimana hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad terdadulu yang menyatakan diancam hukuman neraka para pelaku pungutan liar.
              Itulah nas-nas syar'iyyah yang menyatakan bahwa pungutan liar, cukai illegal atau al-maksu merupakan salah satu bentuk tindak pidana ekonomi yang jelas akan merugikan pihak lain termasuk pelaku pungli itu sendiri. Dalil-dalil yang menyatakan bahwa al-maksu merupakan jarimah, ada yang secara langsung dan ada yang hanya menyebut secara sekilas dikaitkan dengan persoalan pelanggaran jenis lain, semuanya menggunakan istilah Sâhibu Maksin.

b.    Pengertian al-Ikhtilâs dan dalil keharamannya
              Secara etimologis, al-ikhtilâs berasal dari kata kerja "خلس- يـخـلس-خلسا" yang berarti merampas dan mengambil dengan tipuan.[18] Ibnu Manzur menjelaskan arti kata "الـخلس" adalah "الأخذ فى نـهزة ومخاتلة" mengambil dalam suasana lengah dan dengan cara menipu.[19] Menurutnya di samping kata "الخلس" masdar atau bentuk verbal nounnya juga bisa disebut "الخلسة" yang oleh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi diartikan sebagai berikut :
الخلسة : أن يأخذ الشيء مسارعا ويبادر يأخذه منه على غير وجه الإستسرار والسرقة إنما هى أخذه على وجه الإستسرار من غير إختلاس ولامبادرة[20]
(Al-khulsah adalah mengambil sesuatu secara cepat dan bersegera bukan dengan jalan sembunyi-sembunyi. Kalau pencurian dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi bukan dengan cara menipu dan  bersegera).

              Dalam beberapa sumber para ulama menjelaskan istilah al-ikhtilâs ada yang memakai istilah al-ikhtilâs dan ada juga yang memakai istilah al-mukhtalis. Keduanya sama makna dan artinya, perbedaannya hanya pada bentuk kata, terkadang dipakai bentuk masdarnya dan terkadang dipakai bentuk isim fa'ilnya. Al-Mubarakfuri memakai kedua-duanya dengan mendefinisikan al-mukhtalis sebagai berikut :
المختلس الذى يسلب المال على طريقة الخلسة[21]
       (al-mukhtalis adalah orang yang merampas harta dengan cara menipu).

Demikian juga as-Syaukani bahkan keduanya mengutip definisi al-mukhtalis menurut pengarang buku an-Nihâyah sebagai berikut :
هو من يأخذ المال سلبا ومكابرة[22]
(al-mukhtalis adalah orang yang mengambil harta dengan merampas dan kekerasan).

              Adapun definisi al-ikhtilâs dalam bentuk masdarnya dikemukakan oleh al-Mubarakfuri sebagai berikut :
الإختلاس أخذ الشيء من ظاهر بسرعة[23]
       (al-ikhtilâs adalam mengambil sesuatu secara terang-terangan dan cepat)

              Lebih lengkap dari definisi al-ikhtilâs menurut al-Mubarakfuri di atas, Syamsul Haq Azim Abadi menjelaskan :
الإختلاس أخذ الشيء من ظاهر بسرعة ليلا كان أونهارا وفى النهاية الخلسة مايؤخذ سلبا ومكابرة[24]
(al-ikhtilâs adalah mengambil sesuatu secara terang-terangan dan cepat baik dilakukan siang maupun malam hari, dalam kitab an-Nihâyah disebutkan bahwa al-khilsah adalah sesuatu yang diambil dengan cara merampas dan melawan).

              Sedangkan Abdul Mu'ti Amin mendefinisikan al-ikhtilâs sebagai berikut :
الإختلاس :أن يستغفل صاحب المال فيخطفه ويذهب بسرعة جهرا فهو من يتعمد الهرب[25]
(al-ikhtilâs adalah upaya memperdaya pemilik harta lalu merampasnya, pergi secara cepat dan terang-terangan pelakunya adalah orang yang sengaja lari)

              Dari beberapa definisi al-ikhtilâs atau al-mukhtalis di atas jika diteliti unsur-unsur yang terdapat dalam berbagai rumusan definisinya maka al-ikhtilâs adalah sebuah cara untuk menguasai atau memiliki harta pihak lain dengan cara merebut, atau merampas, dilakukan secara cepat, dilakukan dengan terang-terangan terkadang terdapat unsur kekerasan atau biasanya dilakukan dengan cara memperdaya korban.
              Dengan adanya unsur memperdaya  korban, sebagai dikemukakan oleh al-Baihaqi di atas maka hipnotis yang biasa dilakukan oleh pelaku dan cukup sering terjadi di masyarakat bisa dikategorikan ke dalam jenis kejahatan al-ikhtilas ini. Namun secara umum dengan meneliti beberapa unsur al-ikhtilâs, dalam bahasa Indonesia lebih sesuai dengan istilah mencopet. Sebab dalam kamus Besar Bahasa Indonesia mencopet diartikan dengan mencuri (barang yang sedang dipakai, uang dalam saku, barang yang dikedaikan[26]  dan sebagainya) dengan cepat dan tangkas.[27] Jadi al-ikhtilâs sangat mirip dengan pencopetan tetapi tidak sama dengan pencurian karena obyek/ sasarannya bukan sedang disimpan oleh pihak korban melainkan sedang dibawa, dipakai, dijual di warung atau sedang dipergunakan.
              Adapun dalil-dalil tentang diharamkannya al-ikhtilâs di dalam al-Qur'an tidak terdapat ayat yang secara tersurat menyebut persoalan al-ikhtilâs ini, namun dilihat dari tata caranya jelas perbuatan ini termasuk salah satu cara menguasai harta atau memakan harta sesama dengan cara batil, sebagaimana firman Allah SWT :
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? {البقرة /2 : 188}
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah / 2 : 188)

Dalil naqli yang secara tekstual menyebut istilah al-ikhtilas adalah hadis mengenai penguasaan harta milik pihak lain dengan cara mencopet, menjambret dan khianat, bukan dengan cara mencuri atau merampok. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut :
عن جابر بن عبدالله الأنصارى قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس على المختلس ولاعلى المنتهب ولاعلى الخائن قطع {رواه البيهقي وأبو داود والترمذى ومالك }[28]
(Dari Jabir bin Abdullah al-Ansari berkata, Rasulullah SAW bersabda, tidak berlaku hukuman potong tangan bagi pelaku pencopetan, penjambretan dan pengkhianatan). (HR. al-Baihaqi, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Malik)

              Hadis ini sedang menerangkan bahwa hukuman potong tangan bagi pencuri sebagaimana ditentukan oleh al-Qur'an tidak berlaku pada kasus perampokan dan pengkhianatan. Hukuman potong tangan hanya berlaku pada kasus pencurian yang telah memenuhi syarat dan rukun sebagaimana dibahas dalam kajian  hukum pidana Islam.


c.    Pengertian al-intihâb dan dalil keharamannya
              Secara etimologis, al-intihâb berasal dari kata "نـهب-ينهب/ينهب-نـهـبا"  yang berarti "الغارة والسلب" menipu, memperdaya dan merampas.[29] Sedangkan secara terminologis dikemukakan oleh beberapa penulis seperti al-Fayyumi dalam al-Mish al-Munîr. Menurutnya al-intihâb didefinisikan sebagai :
الغلبة على المال والقهر[30]
       (Menguasai dan memaksa atas harta).

              Menurut Muhammad bin Salim bin Sa'id Babasil, al-intihab adalah
       [31]"أخذ المال جهار",  mengambil harta (orang lain) secara terang-terangan ).
              Kedua definisi al-intihâb oleh al-Fayyumi dan Babasil di atas tampak sangat singkat dan sederhana. Unsur-unsur yang terdapat pada rumusan definisi mereka adalah mengambil harta orang lain, dengan cara mamaksa dan dilakukan secara terang-terangan. Definisi al-intihâb yang lebih lengkap dikemukakan oleh Syamsul Haq Azim Abadi sebagai berikut :
النهب هو الأخذ على وجه العلا نية قهرا والنهب وإن كان أقبح من الأخذ سرا لكن ليس عليه قطع لعدم إطلاق السرقة عليه[32]
(an-Nahbu adalah mengambil (harta orang lain) dengan cara terang-terangan dan memaksa walaupun cara ini dinilai lebih buruk daripada mengambil (milik orang lain) secara sembunyi-sembunyi tetapi pelaku tidak diancam sanksi pidana potong tangan karena an-nahbu ini tidak termasuk jarimah sariqah / pencurian).

              Sangat mirip dengan definisi al-intihâb / an-nahbu yang dikemukakan oleh Syamsul Haq Azim Abadi di atas, penulis dan ahli hadis yang lain juga mengemukakan definisi yang sama, mereka itu adalah al-Baihaqi, al-Mubarakfuri dan as-Siharanfuri. Menurut mereka an-nahbu adalah :
أخذ الشيء على وجه العلانيه والقهر والغلبة[33]
       (mengambil sesuatu dengan cara terang-terangan memaksa dan menguasai).

              Dengan demikian tampaknya sangat tipis perbedaan antara al-ikhtilâs dan al-intihâb yaitu kalau pada al-ikhtilâs tindakan itu dilakukan pada saat korban terlena sedangkan pada al-intihâb tidak harus ketika korban terlena. Kedua-duanya sama-sama dilakukan dengan cara terang-terangan dan memaksa serta menguasai.
              Oleh karena pada al-ikhtilas terdapat unsur kelengahan korban bahkan terkadang dilakukan dengan cara memperdaya (menghipnotis) korban, maka dalam bahasa Indonesia al-ikhtilâs lebih dekat dengan istilah mencopet atau memalak. Sedangkan dalam kasus al-intihâb yang unsur-unsurnya  terang-terangan memaksa dan menguasai pihak korban tanpa harus dalam kondisi lengah dan terpedaya, maka dalam bahasa Indonesia lebih cocok dengan istilah penjambretan yang definisinya adalah merenggut atau merebut (barang milik orang lain yang sedang dipakai atau dibawa).[34]
              Adapun mengenai dalil diharamkannya al-intihâb maka sebagaimana pada kasus al-ikhtilâs, dalam masalah al-intihâb juga tidak terdapat dalil eksplisit di dalam al-Qur'an tetapi persoalan al-intihâb ini jelas sebagai salah satu cara memakan harta sesama dengan cara batil. Sehingga ayat 188 surat al-Baqarah di atas juga berlaku sebagai dalil diharamkannya al-intihâb. Bahkan hadis yang menjelaskan al-intihâb ini adalah hadis yang sama, yaitu tentang tidak berlakunya hukumam potong tangan bagi pelaku pencopetan, penjambretan dan pengkhianatan sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat al-Baihaqi, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Malik yang telah dikemukakan di atas.

d.    Sanksi hukum pelaku al-ikhtilâs dan al-intihâb
              Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku al-ikhtilâs dan al-intihâb ini dalam hadis di atas yang menegaskan bahwa :
ليس على المختلس ولاعلى المنتهب ولاعلى الخائن قطع
Hukuman potong tangan (yang berlaku bagi pencuri) tidak berlaku pada kasus pencopetan, penjambretan dan pengkhianatan.

Sudah jelas bahwa pelaku al-ikhtilâs dan al-intihâb sanksi hukumnya berupa hukuman takzir. Dalam definisi an-nahbu oleh Syamsul Haq Azim bahkan secara implisit dinyatakan sebagai berikut :
والنهب وإن كانت أقبح من الأخذ سرا لكن ليس عليه قطع لعدم إطلاق السرقة عليه[35]
(an-nahbu / penjambretan walaupun lebih jelek daripada mengambil milik orang lain secara sembunyi-sembunyi (pencurian) tetapi hukuman potong tangan tidak berlaku sebab unsur-unsur yang biasa terdapat dalam tindak pidana pencurian tidak terdapat di dalamnya).

              Mengenai tidak berlakunya hukuman potong tangan bagi pelaku al-ikhtilas dan al-intihab ini dijelaskan oleh Khalil Ahmad as-Siharanfuri sebagai berikut :
ووجه عدم القطع فيهما لأن القطع ثبت بالنص فى السرقة والإنتهاب والإختلاس والخيانة ليست بسرقة لأن فى الإنتهاب ليس الأخذ خفية, وفى الخيانة ليس الأخذ من الخرز, وقال مولانا محمد يحي المرحوم فى التقرير : ولعل الوجه فى ذلك والله أعلم أن الزجر إنما يفتقر إليه فى الردع عما يخاف شيوعة من الفواحش والجنايات، ولا كذلك الخلسة والخيانة لأن حضور المالك وعلمه بصاحبه يمنعان عن الإقدام عليـهما فلا يكاد يتبادر إليهما إلا من كان نهاية فى الوقاحة والحمول إذ لوكان معروفا لخاف على نفسه أن يؤخذ نعم يعزر فيهما مارأى الحاكم[36]
(Alasan tidak berlakunya hukuman potong tangan pada kasus al-ikhtilâs dan al-intihâb ini karena hukuman potong tangan bagi pencuri secara eksplisit dan jelas ditetapkan di dalam nas (al-Qur'an), padahal al-ikhtilâs dan al-intihâb serta khianat bukan pencurian, sebab lain karena dalam al-intihâb proses pengambilan harta itu tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dalam khianat pengambilannya tidak dilakukan pada saat harta berada dalam tempat penyimpanannya. Alm. Maulana Muhammad Yahya menjelaskan dalam kitab at-Taqrîr, boleh jadi alasan dalam masalah ini, tentu Allah yang lebih mengetahui, bahwa ancaman (berupa hukuman potong tangan bagi pencuri) memang sangat diperlukan dalam rangka menanggulangi hal-hal yang dikhawatirkan berupa merebaknya kekejian dan kejahatan.  Hal ini tidak berlaku bagi pelaku pencopetan dan penjambretan, sebab keberadaan pemilik harta (di TKP) dan kesadaran penuh pelaku bahwa harta dimaksud milik korban mestinya telah cukup sebagai sebab untuk membatalkan rencana pelaku untuk berbuat jahat.  Sehingga hampir mustahil pencopetan dan penjambretan akan terjadi kecuali memang pelaku benar-benar sebagai penjahat yang sangat tidak tahu malu dan lemah (iman dan ekonomi). Jika ia mengerti tentu ia akan takut kalau dirinya akan dijatuhi sanksi hukum. Memang pencopet dan penjambret tetap harus dihukum takzir oleh hakim).

              Senada dengan apa yang dipaparkan as-Siharanfuri ini, Imam an-Nawawi yang juga dikutip oleh al-Mubarakfuri menegaskan bahwa hukuman potong tangan hanya berlaku bagi pencuri, bukan pencopet dan / atau penjambret. Dalam hal ini al-Mubarakfuri mengatakan :
قال النووى فى شرح مسلم : قال القاضى عياض : شرع الله تعلى إيحاب القطع على السارق ولم يجعل ذلك على غيرها كالإختلاس والإنتهاب والغصب, لأن ذلك قليل بالنسبة إلى السرقة ولأنه يمكن استرجاع هذاالنوع بالإستغاثة إلى ولاة الأمور وتسهيل أقامة البينة عليه بخلافها فيعظم أمرها واشتدت عقوبتها ليكون أبلغ فى الزجر عنها انتهى. [37]
(An-Nawawi dalam Syarh Muslim berkata , al-Qadi' Iyad berkata, Allah mewajibkan sanksi potong tangan hanya khusus pada kasus pencurian bukan pada kejahatan-kejahatan material jenis lain, seperti al-ikhtilâs, al-intihâb dan ghasab. Sebab dalam kasus-kasus ini bila dibandingkan dengan pencurian, relatif kecil. Sebab lain, karena kejahatan-kejahatan material jenis ini sangat dimungkinkan penyelesaiannya dengan cara diserahkan kepada  pemerintah dan pembuktiannyapun  relatif mudah, berbeda dengan pencurian yang dianggap lebih besar permasalahannya sehingga diperkeras sanksinya agar lebih mengena dalam (upaya) penanggulangannya).

              Dari uraian as-Siharanfuri, an-Nawawi dan al-Mubarakfuri mengenai mengapa sanksi potong tangan hanya berlaku pada pelaku pencurian, bukan pencopet dan penjambret, alasan paling kongkrit yang mereka kemukakan adalah karena memang ketentuan nas ayat al-Qur'annnya seperti itu. Bahkan ketika as-Siharanfuri mencoba mengelaborasikan pemikirannya ia awali dengan kalimat "والله أعلم" lalu ia berpendapat bahwa memang hanya pencuri yang layak dihukum potong tangan, bukan pencopet dan penjambret, sebab logikanya orang yang otaknya normal dan masih memiliki rasa malu tidak mungkin melakukan pencopetan dan penjambretan yang biasanya dilakukan secara terang-terangan, terkadang kondisi korban sedang terlena dan ada kalanya korban dalam suasana sadar penuh. Berbeda dengan kasus pencurian di mana  biasanya obyek yang dicurinya berjumlah besar karena sedang disimpan pemiliknya, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan pelakunya bisa berulang-ulang melakukannya. Maka dari itu sudah selayaknya bila pencuri dijatuhi sanksi hukum keras berupa potong tangan, tentu saja setelah memenuhi syarat dan rukunnya, baik terkait unsur formil, unsur materil dan unsur moril.
              Berbeda dengan as-Siharanfuri yang cenderung melihat perbedaan antara ketiganya dari prespektif pesikis pelaku, an-Nawawi yang juga dikutip oleh al-Mubarakfuri lebih menitikberatkan pada aspek bobot jarimah atau tindak pidananya, menurutnya, pencurian jauh lebih besar dan lebih parah dampaknya bagi korban daripada sekedar pencopetan dan penjambretan bila dikaitkan dengan jumlah nominal obyek tindak pidananya. Di samping itu, menurut an-Nawawi dan al-Mubarakfuri pembuktian kasus pencompetan dan penjambretan relatif  lebih mudah daripada pada kasus pencurian, bahkan upaya menanggulangi jarimah al-ikhtilâs dan al-intihâb lebih mudah bila ditangani oleh pemerintah daripada kasus pencurian.
              Secara lebih rinci dan mendetail perbedaan konsep dan unsur-unsur antara mencuri, mencopet dan menjambret,  dikemukakan oleh Abdul Mu'ti Amin dalam kitâb Ma'rifat as-Sunan wa al-âtsâr sebagai berikut :
والفرق بين السارق الذى يقطع يده والمختلس والمنتهب والغاصب لا يقطع أيديهم هو ما يأتى : [38]
(Perbedaan konsep dan pandangan antara sanksi hukum bagi pencuri, yang harus dipotong tangannya dan pencopet, penjambret serta tukang ghasab yang tidak diberi sanksi hukum potong tangan, bisa dikemukakan sebagai berikut).

إن السارق لا يمكن الإتراز منه فإنه ينقب الدور ويهتك الحرز ويكسر القفل ولا يمكن صاحب المتاع الإختراز بأكثر مما قام به فلو لم يشرع قطعه لسرق الناس بعضهم بعضا وعظم الضرر واشتدت المحنة بسبب السراق بخلاف المنتهب والمختلس[39]
(Sungguh tidak mungkin untuk memprotek datangnya seorang pencuri sebab pencuri datang dengan cara melubangi pagar, merusak brangkas, menjebol kunci, pemilik harta tidak mungkin berupaya yang melebihi dari kebiasaan yang berlaku.  Kalau tidak ada aturan hukum untuk memotong tangan pencuri maka akan terjadi tindakan saling mencuri antara satu orang dengan orang lain, pada saat itu akan semakin besar berbagai fitnah dan madarat yang terjadi akibat ulah para pencuri. Hal ini berbeda dengan sanksi pelaku penjambretan dan pencopetan).
فإن المنتهب : هو الذى يأخذ المال جهرة بمرأى من الناس فيمكنهم أن يأخذوا على يديه ويخلصوا حق المظلم أيشهدوا له عند الحاكم[40]
(adapun penjambret adalah orang yang mengambil harta (milik orang lain) secara terang-terangan di depan umum, pada saat itu besar kemungkinan penjambret akan dihakimi massa atas tindakannya, massapun melakukan hal itu dalam rangka memperjuangkan/melindungi hak korban yang terzalimi, atau massa bahkan akan siap menjadi saksi (atas kejahatan pelaku) di depan hakim).
وأماالمختلس : فإنه إنما يأخذ المال على حين غفلة من مالكه وغيره لا يخلو من نوع تفريط يمكن به المختلس من إختلاسه, وإلا فمع كمال التحفظ والتيقظ, لا يمكن الإختلاس., فليس كالسارق بل هو بالخائن أشبه, وأيضا فالمختلس إنما يأخذ المال من غير حرز مثله غالبا, فإنه الذى يغافلك ويختلس متاعك فى حال تخليك عنه وغفلتك عن حفظه, وهذا يمكن الاحتراز منه غالبا فهو كالمنتهب. [41]
(Sementara itu,  pencopet, dia beraksi mengambil harta orang lain pada saat korban pemilik harta tersebut terlena sehingga ia tidak akan berbuat ceroboh agar dia berhasil mencopet, kalaupun ia sedikit nekat maka pasti akan ia lakukan dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan tinggi, sebab kalau tidak, pasti tidak mungkin berhasil mencopet. Di sinilah letak perbedaannya dengan pencuri, pencopet justru mirip dengan pengecut / pengkhianat, lagi pula pencopet mengambil harta bukan dari tempat penyimpanannya yang pada umumnya dilakukan orang. Jadi pencopet adalah orang yang memperdaya kamu, mencopet harta bendamu pada saat kamu terpedaya, di saat kamu terlena dalam menjaganya. Di sinilah letak ketidakmungkinan korban untuk menjaga diri dari tindakan pencopetan secara umum. Pencopet mirip dengan penjambret).

              Kalau pernyataan Abdul Mu'ti Amin yang akhirnya menyebut pencopet sama dengan penjambret masih akan dicari lagi perbedaanya, maka terletak pada kondisi korban. Yaitu korban penjambretan biasanya tetap dalam keadaan sadar sedang korban pencopetan biasanya dalam keadaan terlena bahkan terpedaya tetapi ternyata barang berharga miliknya telah raib.
             
KESIMPULAN

              Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa dari ketiga macam tindak pidana yakni al-maksu (pungli), al-ikhtilâs (pencopetan) dan al-intihâb (penjambretan) semuanya masuk dalam cakupan kejahatan yang  ada korelasinya dengan permasalahan tindak pidana korupsi dan ketiganya masuk  dalam kategori jarimah tazir, sebab dalam nas-nas al-Qur'an maupun hadis tidak terdapat ketentuan pasti jenis, bentuk, jumlah dan teknis sanksi yang harus diberlakukan terhadap pelaku keiga tindak kejahatan di atas. Hal ini berbeda dengan qisas dan hudud sebagaimana telah dibahas dalam disiplin ilmu hukum pidana Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abul Fadal Jamâluddîn Muhammad bin Makram bin al-Afriqî al- Misrî, Ibnu Manzur, Lisân al-'Arab, (Beirut : Dâru Sâdir, tth), jilid 6
Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâîl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, ( Indonesia : ttp, Dahlan, tth), jilid 2  Kitab al-Mazalim, hlm. 932 dan jilid 3 Kitab ar-Raqaq, hlm. 2625
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majjah, (Beirut : Dar al- Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut : Dar al-Fikr, tth) jilid 4, hlm. 143
Abû al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azîm, Âbâdî,  'Aun al-Ma'bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, al-Qâhirah : Dâr al-Hadîts, 2001), jilid 5, hlm. 339-340
Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8
Ibnu Manzur, Abul Fadal Jamâluddîn Muhammad bin Makram bin al-Afriqî al- Misrî, Lisân al-'Arab, (Beirut : Dâru Sâdir, tth), jilid 6, hlm. 65
Ahmad Ibn Muhamamd Ibn ‘Alî al-Maqrî, al-Fayûmî al-,  -Misbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr lî al-Râfi’î, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Islamiyyah), 1994, jilid 2, hlm. 627.
Khalîl Ahmad, al-Siharanfûrî,  Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tth), jilid 15, jilid 13, hlm. 226
Muhammad bin Sâlim bin Sa'îd al-Syâfi'î, Bâbâsil,  Is'âd al-Rafîq wa Bughiyyah al- Sadîq Syarh Matn Sulam al-Taufîq Ilâ Mahabbatillâh 'alâ al-Tahqîq, Indonesia : ttp, Dâru Ihyâ`al-Kutub al-'Arabiyyah, tth, jilid 2, hlm. 57
Muhyiddîn Abû Zakariyâ YahIbn Syaraf Ibn Murrî, al-Nawâwî, al-Minhâj fî Syarh Sahîh Muslim ibn al-Hajjâj, (Riyâd : Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, tth.), hlm. 1090
'Utsaimin al-, Muhammad bin Saleh, Zâd al-Muttaqîn Syarh Riyâd al-Sâlihîn min Kalâmi Sayyid al-Mursalîn, (al-Qâhirah : Maktabah at-Turâts al-Islâmî, 2004), cet. pertama, jilid 1, hlm. 554.
Muhammad Zakariyâ al-Kandahlâwî,  Aujâz al-Masâlik ilâ Muwatta`i Mâlik, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1974), cet ke- 3, jilid 13, hlm. 325
Muslim Ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairî al-Nîsâburî, Sahîh Muslim,( Semarang : Toha Putera, tth), jilid 2 hlm. 52-53
Syaukânî al-, Muhammad Ibn ‘Ali bin Muhammad, Nail al-Autâr, Syarah muntaqa al-Akhbâr, (Beirut : Dâr al- Fikr, tth), jilid 8 hlm.
 Abû al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azîm, Âbâdî,  'Aun al-Ma'bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, (al-Qâhirah : Dâr al-Hadîts, 2001), jilid 7, hlm. 464
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2003), cet. ke-3, hlm. 220
Baihâqi al-, Abû Bakar Ahmad Ibn al-Husain, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth, jilid 8
AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), cet. ke-14
Muhammad Zakariyâ al-Kandahlâwî,  Aujâz al-Masâlik ilâ Muwatta`i Mâlik, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1974), cet ke- 3, jilid 13







[1] AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), cet. ke-14, hlm. 1352
[2] Abul Fadal Jamâluddîn Muhammad bin Makram bin al-Afriqî al- Misrî, Ibnu Manzur, Lisân al-'Arab, (Beirut : Dâru Sâdir, tth), jilid 6, hlm. 220
[3] Abul Fadal Jamâluddîn Muhammad bin Makram bin al-Afriqî al- Misrî, Ibnu Manzur, Lisân al-'Arab, (Beirut : Dâru Sâdir, tth), jilid 6, hlm. 220
[4] Khalîl Ahmad, al-Siharanfûrî,  Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tth), jilid 15, jilid 13, hlm. 226
[5] Khalîl Ahmad, al-Siharanfûrî,  Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tth), jilid 15, jilid 13, hlm. 226
[6] Muhammad bin Sâlim bin Sa'îd al-Syâfi'î, Bâbâsil,  Is'âd al-Rafîq wa Bughiyyah al- Sadîq Syarh Matn Sulam al-Taufîq Ilâ Mahabbatillâh 'alâ al-Tahqîq, Indonesia : ttp, Dâru Ihyâ`al-Kutub al-'Arabiyyah, tth, jilid 2, hlm. 57
[7] Muhammad bin Sâlim bin Sa'îd al-Syâfi'î, Bâbâsil,  Is'âd al-Rafîq wa Bughiyyah al- Sadîq Syarh Matn Sulam al-Taufîq Ilâ Mahabbatillâh 'alâ al-Tahqîq, Indonesia : ttp, Dâru Ihyâ`al-Kutub al-'Arabiyyah, tth, jilid 2, hlm. 57
[8] Abû al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azîm, Âbâdî,  'Aun al-Ma'bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, al-Qâhirah : Dâr al-Hadîts, 2001), jilid 5, hlm. 339-340

[9] Untuk bisa lebih jelas, perhatikan hadis  mengenai seorang wanita al-Ghamidiah yang dihukum rajam, di mana pada bagian akhir hadis tersebut terdapat kalimat :
مهلا يا خالد فوالذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ثم أمر بها فصلى عليها ودفنت
(pelan-pelan wahai Khalid, Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, al-Ghamidiyah telah bertobat dengan sebuah tobat yang jika pelakunya adalah seorang pelaku pungli pasti diampuni seluruh dosa-dosanya dan kemudian diperintahkan untuk dishalatkan dan dikuburkan.)
[10] Muhyiddîn Abû Zakariyâ YahIbn Syaraf Ibn Murrî, al-Nawâwî, al-Minhâj fî Syarh Sahîh Muslim ibn al-Hajjâj, (Riyâd : Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, tth.), hlm. 1090
[11] Praktik-praktik pungutan liar dan cukai illegal seperti ini pada saat sekarang di masyarakat Indonesia masih sering terjadi. Biasanya dilakukan oleh oknum atau kelompok organisasi-organisasi tertentu dan mereka menguasai tempat atau lahan-lahan tertentu di pasar-pasar. Bahkan tidak jarang, sering terjadi bentrok fisik antar mereka, misalnya  karena terjadi perebutan lahan-lahan parker, bahkan bisa terjadi antar satu keluarga.  Pada dasarnya para pihak yang terlibat dalam hal pungli dan cukai illegal seperti ini sedang kembali ke zaman jahiliah.
[12] 'Utsaimin al-, Muhammad bin Saleh, Zâd al-Muttaqîn Syarh Riyâd al-Sâlihîn min Kalâmi Sayyid al-Mursalîn, (al-Qâhirah : Maktabah at-Turâts al-Islâmî, 2004), cet. pertama, jilid 1, hlm. 554. lihat juga sumber  aslinya , Abû ‘Abdullâh Muhammad bin Ismâîl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, ( Indonesia : ttp, Dahlan, tth), jilid 2  Kitab al-Mazalim, hlm. 932 dan jilid 3 Kitab ar-Raqaq, hlm. 2625
[13] Khalîl Ahmad, al-Siharanfûrî,  Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tth), jilid 13, hlm. 226

[14] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut : Dar al-Fikr, tth) jilid 4, hlm. 143
[15] Muhammad bin Sâlim bin Sa'îd al-Syâfi'î, Bâbâsil,  Is'âd al-Rafîq wa Bughiyyah al- Sadîq Syarh Matn Sulam al-Taufîq Ilâ Mahabbatillâh 'alâ al-Tahqîq, (Indonesia : ttp, Dâru Ihyâ`al-Kutub al-'Arabiyyah, tth), jilid 2, hlm. 57
[16] Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majjah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1995), jilid 2, hlm. 407
[17] Muslim Ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairî al-Nîsâburî, Sahîh Muslim,( Semarang : Toha Putera, tth), jilid 2 hlm. 52-53
[18] AW. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), cet. ke-14, hlm. 359
[19] Ibnu Manzur, Abul Fadal Jamâluddîn Muhammad bin Makram bin al-Afriqî al- Misrî, Lisân al-'Arab, (Beirut : Dâru Sâdir, tth), jilid 6, hlm. 65
`[20] Muhammad Zakariyâ al-Kandahlâwî,  Aujâz al-Masâlik ilâ Muwatta`i Mâlik, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1974), cet ke- 3, jilid 13, hlm. 325
[21] Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8
[22] Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8. lihat juga Syaukânî al-, Muhammad Ibn ‘Ali bin Muhammad, Nail al-Autâr, Syarah muntaqa al-Akhbâr, (Beirut : Dâr al- Fikr, tth), jilid 8 hlm. 305. definisi al-mukhtalis seperti yang dikemukakan oleh al-Mubarakfuri dan as-Syaukani juga dikemukakan oleh syamsul Haq Azim Abadi dalam 'Aun al-Ma'bûd, jilid 7, hlm. 474.
[23] Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8
[24] Abû al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azîm, Âbâdî,  'Aun al-Ma'bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, (al-Qâhirah : Dâr al-Hadîts, 2001), jilid 7, hlm. 464
[25] Abdul Mu'ti Amin Qal'âjî, Ma'rifah as-Sunan wa al-âtsâr li Abî Bahrin Ahmad bin al-Husain al-Baihâqî, (al-Qâhirah : Dâr al-Wafâ', 1991), cet. pertama, jilid 2, hlm. 427
[26] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga halaman 524, kedai diartikan sebagai bangunan tempat jualan (makanan dan sebagainya),  warung. Jadi dikedaikan, berarti diletakkan di warung untuk dijual. Seseorang yang mengambil barang-barang atau makanan yang sedang dijual di warung bisa disebut dengan mencopet.
[27] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2003), cet. ke-3, hlm. 220
[28] Baihâqi al-, Abû Bakar Ahmad Ibn al-Husain, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth, jilid 8, hlm. 279, lihat Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8 lihat juga al- Siharanfûrî, Khalîl Ahmad, Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tth), jilid 1517, hlm. 339 lihat juga  Muhammad Zakariyâ al-Kandahlâwî,  Aujâz al-Masâlik ilâ Muwatta`i Mâlik, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1974), cet ke- 3, jilid 13, hlm. 325
[29] Ibnu Manzur, Abul Fadal Jamâluddîn Muhammad bin Makram bin al-Afriqî al- Misrî, Lisân al-'Arab, Beirut : (Dâru Sâdir, tth), jilid  1, hlm. 773
[30] Ahmad Ibn Muhamamd Ibn ‘Alî al-Maqrî, al-Fayûmî al-,  -Misbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh al-Kabîr lî al-Râfi’î, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Islamiyyah), 1994, jilid 2, hlm. 627.
[31] Muhammad bin Sâlim bin Sa'îd al-Syâfi'î, Bâbâsil,  Is'âd al-Rafîq wa Bughiyyah al- Sadîq Syarh Matn Sulam al-Taufîq Ilâ Mahabbatillâh 'alâ al-Tahqîq, Indonesia : ttp, Dâru Ihyâ`al-Kutub al-'Arabiyyah, tth, jilid 2, hlm.  97
[32] Abû al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azîm, Âbâdî,  'Aun al-Ma'bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, (al-Qâhirah : Dâr al-Hadîts, 2001), jilid 7, hlm. 465
[33]Abdul Mu'ti Amin Qal'âjî, Ma'rifah as-Sunan wa al-âtsâr li Abî Bahrin Ahmad bin al-Husain al-Baihâqî, (al-Qâhirah : Dâr al-Wafâ', 1991), cet. pertama, jilid 2, hlm. 427 lihat Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8,  lihat juga  al- Siharanfûrî, Khalîl Ahmad, Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tth), jilid 1517, hlm. 339
[34] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2003), cet. ke-3, hlm. 455
[35] Abû al-Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azîm, Âbâdî,  'Aun al-Ma'bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, (al-Qâhirah : Dâr al-Hadîts, 2001), jilid 7, hlm.465
[36] al- Siharanfûrî, Khalîl Ahmad, Badzlu al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tth), jilid 1517, hlm. 339
[37] Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8 Al-Mubarakfuri ketika mengutip an-Nawawi dalam pengantar kitab hudud pada Syarh Muslim di atas, ternyata tidak mengutip secara apa adanya, melainkan mengurangi dan memodifikasi redaksi an-Nawawi. Contohnya adalah beberapa kata dalam  potongan paragraf berbahasa Arab di atas yang penulis beri tanda garis bawah seperti kata "بالإستغاثة"  dalam kitab aslinya "بالإستدعاء", dalam kitab kutipannya disebut "وتسهيل" sedangkan dalam kitab aslinya disebut dengan  "وتسهل" dan juga terjadi pengurangan kata seperti dalam Tuhfah al-Ahwazi hanya disebut "بخلافها" padahal dalam  Syarh sahih Muslimnya secara lengkap disebutkan "بخلاف السرقة فإنه تنذر بإقامة البينة عليها". Pada bagian pertama paragraf tersebut juga terjadi perbedaan redaksi, pada kitab kutipannya disebutkan "شرع الله تعا لى" padahal dalam kitab aslinya digunakan kalimat "صان الله تعالى". Bandingkan antara Abû, ‘Alî Muhamamd bin ‘Abdurrahmân al-Mubârak Fûrî, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi' al-Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, hlm. 8  dengan Al-Nawâwî, Muhyiddîn Abû Zakariyâ YahIbn Syaraf Ibn Murrî,  , al-Minhâj fî Syarh Sahîh Muslim ibn al-Hajjâj, (Riyâd : Bait al-Afkâr al-Dauliyyah), tth. hlm. 1082
[38] Abdul Mu'ti Amin Qal'âjî, Ma'rifah as-Sunan wa al-âtsâr li Abî Bahrin Ahmad bin al-Husain al-Baihâqî, (al-Qâhirah : Dâr al-Wafâ', 1991), cet. pertama, jilid 2, hlm. 427
[39] Abdul Mu'ti Amin Qal'âjî, Ma'rifah as-Sunan wa al-âtsâr li Abî Bahrin Ahmad bin al-Husain al-Baihâqî, (al-Qâhirah : Dâr al-Wafâ', 1991), cet. pertama, jilid 2, hlm. 427
[40]  Abdul Mu'ti Amin Qal'âjî, Ma'rifah as-Sunan wa al-âtsâr li Abî Bahrin Ahmad bin al-Husain al-Baihâqî, (al-Qâhirah : Dâr al-Wafâ', 1991), cet. pertama, jilid 2, hlm. 427
[41] Abdul Mu'ti Amin Qal'âjî, Ma'rifah as-Sunan wa al-âtsâr li Abî Bahrin Ahmad bin al-Husain al-Baihâqî, (al-Qâhirah : Dâr al-Wafâ', 1991), cet. pertama, jilid 2, hlm. 427